Bentuk akulturasi, tidak hanya terjadi dalam wilayah kesenian dan
sosial kemasyarakatan, melainkan juga merambah ke dalam dunia politik dan
kekuasaan. Dalam tradisi Jawa Hindu-Buddha, seorang Raja dianggap sebagai
penjelmaan dewa di dunia yang memegang otoritas politik tertinggi dan menduduki
puncak hirarki kerajaan.
Hal tersebut dapat terlaihat pada
prasasti Tahanaru (1323M) disebutkan bahwa kerajaan Majapahit dilambangkan
sebagai prasada dengan raja sebagai Wisnuawatara. Pengangkatan seorang raja adalah berasaskan keturunan atau
turun-temurun. Jika tidak demikian seseorang bisa menjadi raja karena
ditahbiskan oleh pendeta melalui upacara Vratoyastoma, yaitu upacara
khusus untuk dapat menghindukan seseorang.
Selain itu, dalam prasati
Jayapatra (jayasong) dari Bendosari yang berasal dari zaman Raja Hayam Wuruk,
di dalam prasati ini raja diumpamakan sebagai patung siwa. Raja juga memiliki
kedudukan dalam kelompok yang disebut Battara Sapta Prabu atau semacam Dewan
Pertimbangan Agung yang memegang peranan sebagai pimpinan pada suatu
pemerintahan untuk mencapai kejayaan pada kerajaan tersebut. Dalam melaksanakan tugasnya raja dibantu
sejumlah pejabat birokrasi. Seperti di masyarakat, seorang raja dibantu oleh
dewan sapta prabu, ada maha menteri kartini, ada pancaring wilwakita dan
paningkah sri narendradwipa.
Pada masa Islam, kaltus dewa-raja
tidak berlaku. Hal itu karena dalam ajaran Islam menolak dengan terang-terangan
persamaan antara manusia dan Tuhan. Menempatkan raja pada kedudukan tidak
semulia dan seagung seperti zaman Hindu-Budha. Pengangkatan pada kerajaan
bercorak Islam tidak menggunakan sistem garis keturunan melainkan garis
kelanjutan dari ”wahyu”.
Siapapun orangnya jika ia diberi
wahyu oleh tuhan berupa pulung atau kekuatan suci, ia akan memimpin tanah Jawa.
Misalnya seorang raja yang memperoleh ”cahata nurbuat”, yang merupakan wahyu
ilahi, yang memiliki kekuasaan magis dan mistik akan berhasil menguasai seluruh
tanah Jawa. Ada beberapa
sebutan bagi raja-raja islam seperti sebutan bagi raja-raja jawa adalah sultan,
susuhunan, panembahan dan maulana.
Kepercayaan adanya tanda-tanda
tersebut tidak diatur dalam ajaran Islam. Hal itu merupakan tradisi pra-Islam
(Hidu-Budha) yang tetap dipercaya pada zaman Islam, bahkan pada saat ini pun
masih ada kelompok masyarakat yang mempercayai. Penghapusan kaltus dewa-raja
oleh Islam tidaklah mengurangi tuntutan pokok, yaitu kekuasaan raja yang
menyeluruh dan mutlak atas seluruh rakyat. Karena raja menduduki posisi yang
sentral, seluruh aparat pemerintahan merupakan perpanjangan kekuasaan raja.
Kakuatatan apapun yang mungkin dimiliki oleh para penjabat diyakini diperoleh
dari raja.
Jadi, dalam kerajaan Hindu-Budha
maupun Islam sesuatu yang keramat sifatnya, konsep magis dan religius
memerankan peran yang menentukan. Konsep magis religius ini tidak hanya
membenarkan dan memperkokoh kekuasaan raja, tetapi juga dalam menjelaskan
peranan orang yang memerintah dan yang diperintah serta hubungan antara raja
dan rakyatnya.
Refrensi ini darimna ?
ReplyDelete